KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.
Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala
nikmat, karunia, taufik, serta hidayah-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Terimakasih dan apresiasi
yang sebesar-besarnya kepada pihak terkait yang telah berkontribusi dalam
penyelenggaraan Perlombaan Cerpen Inspirasi (POCI) 2021 dengan tema “Menggali Potensi Menuju Generasi
Rabbani Yang Menginspirasi” yang diselenggarakan oleh UKM FEB SEFiS Universitas Trunojoyo Madura.
Kompilasi Cerpen ini merupakan karya-karya terbaik dari
para pemenang Cerpen Inspirasi (POCI) 2021. Besar harapan penulis agar dengan
adanya Kompilasi Cerpen hasil karya para pemenang Cerpen Inspirasi (POCI)
2021ini dapat bermanfaat dan menginspirasi bagi setiap pembacanya.
“Tiada gading yang tak retak”, untuk itu, penulis memohon
maaf apabila ada kesalahan. Tidak lupa pula, kritik dan saran membangun sangat
diperlukan agar dapat
menjadi evaluasi kedepannya.
Terimakasih,
Selamat membaca,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bangkalan, 30 November 2021
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................... ii
AKHLAK DAN PRESTASIMU BUKAN WAJAH CANTIKMU....................... 1
JANJI YANG TERPATRI....................................................................... 10
SEPENGGAL KISAH MERAJUT CITA..................................................... 22
JUARA 1
AKHLAK DAN PRESTASIMU BUKAN WAJAH CANTIKMU
(Karya : Ida
Fauziati)
Embun pagi yang menyelimuti
rumput-ruput halaman rumah, di sebuah bebatuan besar, di samping rumah kecil,
duduk seorang gadis cantik berbalut jilbab dan busana rapi yang terlihat
anggun, setiap mata memandang pasti akan terpukau karena kecantikannya. Wanita
itu diam dan mencoba mengingat kembali masa lalunya, masa-masa yang cukup berat
dilalui kala itu, waktu itu usianya baru 14 tahun, dimana ia pertama kali
menginjakan kaki dan menetap selama beberapa tahun di desa kecil ini.
Desa kecil dan masih terbelakang, terdapat
perkampunngan yang sesak akan penduduk yang jauh dari kata moderen, masyarakat
desa ini masih hidup seperti di zaman kuno. Yaa... hanya segelintir masyarakat
desa ini yang mengerti teknologi, itu pun
karena mereka merantau. Kalau tidak, mungkin masih sama seperti masyarakat
lainnya. Berkebun, ke sawah, mengurus rumah, mengurus anak, ke pasar
tradisional, berdangan hasil kebun, mungkin hanya itu kegiatan yang mereka
lakukan setiap hari dari zaman nenek moyang hingga sekarang. Bahkan pendidikan
pun sangat minim, hanya anak orang kaya yang bisa sekolah hingga sarjana,
padahal setiap anak punya hak untuk belajar, tidak memandang anak orang kaya
kah, miskin kah, semuanaya punya hak yang sama, toh yaa sekarang beasiswa
sangat banyak dan mudah didapat, tapi...mau bagaimana lagi, mereka tidak mau
tau akan hal ini. Sekolah seadanya, belajar sebisanya, setelah tamat sekolah,
dipaksa untuk menikah. Alasannya simpel, hanya karena orang tuanya ingin
anaknya ada pendamping hidup yang mau mengurus kehidupannya. Seharusnya
anak-anak diberi kebebasan untuk memutuskan masa depannya, tidak terburu-buru
untuk menikah, mereka bisa bekerja dan menata masa depan mereka dengan baik,
mungkin itu lebih baik dari menikah diusia dini.
Dan di desa kecil ini
gadis itu hidup bersama satu keluarganya, yang terdiri dari 3 anggota keluarga,
ada ayah, ibu dan satu anak perempuan. Ayahnya bernama pak Narto, ibunya
bernama bu Aminah, dan seorang gadis perempuan, anak satu-satunya dikeluarga
itu yang bernama Bening. Keluarga itu hidup di rumah sederhana, dengan atap
yang terbuat dari jerami, dan lantai tanah liat. Keluarga itu cukup moderen dan
melek teknologi dibandingkan tetanggatetangga disekitarnya, namun bukan dari
keluarga yang berada tapi karen pak Narto dan keluarganya pernah hidup dikota,
dan pak Narto adalah satu - satunya penjual bakso keliling di desa itu.
Keluarga Bening hidup
dengan kesederhanaan, ia tidak punya kebun atau pun sawah seperti tetanga
lainnya, namun hasil mejual bakso pak Narto cukup untuk memenuhi kebutuhan
seharihari keluarganya. Dulu Bening dan keluarganya hidup di kota dan mempunyai
rumah makan yang cukup besar, namun tiba-tiba saja usaha rumah makan keluarga
Bening bangkrut, dan akhirnya pak Narto memutuskan untuk membawa keluarganya kembali ke desa kecil
ini, desa dimana ayah Bening tingal semasa ia masih kecil sebelum ia memutuskan
untuk merantau ke kota.
Waktu itu usaha
keluarga Bening berada di titik
tertinggi kesuksesannya, sebelum akhirnya rumah makan itu kebakaran dan membuat
usahanya bangkrut. Bukan hanya usahanya yang bangkrut, namun dari kebakaran itu
Bening, anak semata wayang pan Narto juga menjadi korban kebakaran itu, tubuh
dan wajahnya terbakar, namun nyawa Bening masih dapat diselamatkan, hanya saja
wajah nya terkena luka bakar yang cukup parah sehingga bekas lukanya sulit
untuk disembuhkan, karean untuk menyembuhkan luka itu tentunya butuh biaya yang
cukup banyak dan tak mungkin bisa dibayar oleh keluarga Bening kala itu.
Saat kejadian
kebakaran itu Bening masih berusia 14 tahun dan masih duduk dibangku kelas 8
SMP. Kemudian keluarga pak Narto pindah ke kampung kecil ini dan Bening pindah
sekolah ke desa ini. Padahal Bening adalah salah satu siswa berprestasi di SMP
nya, ia selalu mendapat juara 1 disetiap kenaikan kelas, dan ia juga mempunyai
cita-cita yang besar, ia ingin menjadi dokter. Namun karena faktor ekonomi,
terpaksa Bening harus meninggalkan sekolah tercintanya. Meninggalkan sekolahnya
bukan berarti meninggalkan cita-citanya pula, dengan kejadian itu Bening semakin
giat belajar walau ia hanya sekolah di desa.
Saat keluarga Bening
pindah ke desa tidak sedikit yang menghujat keluarganya, terutama dengan
kondisi wajah bening yang terkena luka bakar, tidak sedikit tetangga yang
mencemooh keluarga bening, bahkan banyak juga yang bilang kalau tidak ada
gunanya keluarga mereka merantau ke kota.
“ buat apa merantau ke kota, kalau akhirnya
juga tetap miskin dan kembali ke desa”
“ apa yang kalian dapat selama dikota?”
Kata-kata itu yang selalalu tetangganya
lontarkan setiap kali bertemu dengan keluarga Bening. Selain itu tidak sedikit
pula yang berkomentar tentang wajah Bening yang terkena luka bakar.
“ apakah ini wajah anak kota ?”
“ apakah orang tua mu tidak mengajarimu
cara menjaga tubuh dan wajah mu?”
Bahkan teman sekolah Bening pun banyak
yang menjauhi nya karena wajahnya itu. Sesekali Bening pernah menangis karena
ulah orang-orang seperti mereka, yang hanya bisa berkata namun tidak memikirkan
perasaan orang lain. Namun Bening selalu menyembunyikan air mata kesedihannya
dari orang tuanya, ia tak mau mnjadi beban untuk ayah dan ibunya di tengah
kondisi ekonomi keluarganya.
Suatu ketika Bening
bertemu dengan teman barunya, temannya cukup baik dan peduli dengan kondisi
Bening dari pada teman-teman lainnya, dia bernama Vira. Vira adalah salah satu
sahabat terbaik Bening, dan pada suatu hari Vira bertanya kepada Bening.
“ Bening, kenapa wajahmu bisa seperti itu?”
“ aku terkena luka bakar, ayahku sudah
membawa ku ke dokter, namun dokter bilang luka ini sulit disembuhkan”. Ujar
bening kepada Vira
“ astaga, kenapa wajahmu bisa sampai
terkena luka bakar ? ”
“ rumah makan ayah ku kebakaran, dan aku
terjebak didalam rumah makan itu”
“ aku turut prihatin ya Bening, atas
musibah yang menimpahmu. Tapi apakah kamu sudah mencoba konsultasi ke dokter
kulit ?”
Seketika Bening terdiam dan merenung, selama ini dia belum
mencoba ke dokter kulit, mungkin saran dari Vira ada benarnya.
Sepulang sekolah
Bening mencari tahu tentang informasi berobat ke dokter kulit, dan biaya untuk
berobat ke dokter kulit melalui jejaring sosial di hp nya. Dan ternyata biaya
ke dokter kulit cukup mahal dan tidak mungkin Bening mengajak ayahnya ke dokter
kulit, karena ayahnya pasti tidak mampu untuk membiayainya karena uang hasil berdagang
bakso ayahnya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Satu tahun berlalu,
kondisi keluarga Bening masih sama seperti awal ketia ia dan keluarganya pindah
ke desa, dan wajah Bening lukanya perlahan mulai mengering namun masih
menimbulkan bekas luka yang cukup parah. Dan saat itu ia telah lulus dari
bangku SMP, ia melanjutkan SMA di desa pula. Dan saat Bening mulai masuk SMA ia
berkata pada ayah dan ibunya tentang cita-cita yang ia putuskan.
“ Pak, bu, Bening mau bilang sesuatu pada
bapak dan ibu”
“ iya Bening, katakan saja” ujar bu Aminah,
ibu bening
“ Bening masih mau jadi dokter pak, bu.
Bening mau jadi dokter kulit, supaya Bening bisa menyembuhkan luka pada wajah
bening, dan menolong orang-orang banyak”
“ bapak selalu mendukungmu Bening, kamu
harus bisa jadi dokter sesuai cita-cita mu sejak kecil” sahut ayah Bening
“ tapi pak... kondisi ekonomi kita kan
tidak seperti dulu lagi, bagai mana kita bisa menyekolahkan Bening sampai jadi
dokter ? ”. ujar ibu bening dengan penuh kesedihan
“ sudahlah bu, jangan terlalu dipikirkan soal biaya, biaya
itu perkara yang mudah. Yang terpenting Bening punya semangat belajar tinggi
dan bisa jadi dokter nanti, toh ya ketika bening jadi dokter, pasti penghasilan
Bening akan lebih bayak dari bapak dagang bakso, iya kan Bening?” tambah pak
Narto sambil tertawa.
“ Bening janji pak, bu, Bening akan rajin
belajar dan berdoa supaya nanti Bening bisa dapat beasiswa” jawab Bening sambil
tersenyum.
Selama tiga tahun SMA, bening selalu
mendapat juara 1 di sekolahnya, dan ia pun lulus dengan predikat siswa terbaik
di sekolahnya. Namun karena sekolah Bening bukan sekolah yang cukup maju dan
menikuti perkembangan informasi, Bening tidak dapat masuk kampus yang ia
inginkan dengan jalur rapot, atau jalur undangan. Dan akhinya Bening menikuti
tes untuk masuk kampus dan mengejar beasiwa. Pada tahun itu Bening berhasil
masuk perguruan tinggi dan prodi kedoteran, namun sayang, ia belum bisa
mendapatkan beasiswa penuh. Dan Bening pun terpaksa tidak menggambil kesempatan
itu dan memilih untuk ikut tes lagi tahun berikutnya.
“ Bening apa kamu yakin tidak mengambil
kesempatan ini ?” tanya ayah kepada Bening
“ iya pak, Bening sangat yakin.mungkin ini
belom rezekinya Bening, Bening akan coba lagi tahun depan pak”
“ ini kesempatan langka Bening, apa kamu
tidak menyesal jika mengabaikan kesempaian ini
?” tambah ibu Bening
“ tak apa bu, Bening sangat yakin, Bening
pasti bisa dapat beasiswa penuh nanti”
“ baiklah kalau ini memang sudah menjadi
keputrusanmu Bening, ayah dan ibumu akan selalu mendukungmu” tambah ayah bening
sambil memegang pundak Bening
Mendengar kabar
Bening tidak jadi kuliah tahun ini tenatanga-tetangga bening seperti
mendapatkan sebuah hadiah besar, mereka sangat senang dan tak henti menghujat
Bening yang bercita-cita menjadi dokter itu. Mereka mengangap bahwa cita-cia
Bening itu adalah hal yang mustahil dan takan pernah digapai oleh orang desa
seperti Bening.
“ anak orang miskin kok mau jadi dokter”
“ menjaga wajahnya saja nggak bisa,
bagaimana mau menjaga orang”
“ jangan mimpi terlalu tinggi kamu Bening”
Mendengar hal itu Bening tidak pernah
marah sedikit pun, Bening hanya tersenyum saat orang-orang mencaci maki
dirinya. Dalam hati Bening berjanji, setiap hujatan dan hinaan yang mereka
lontarkan suatu saat pasti akan berbalik pada pujian dan rasa hormat pada
keluarganya
Satu tahun telah
Bening habiskan untuk belajar, selain belajar bening punya kegiatan baru, yaitu
mengaji di desa sebelah dan lebih memperdalam ilmu agamanya. Banyak sekali ilmu
baru yang bening dapatkan dengan mengaji, ia juga semakin sopan dengan
siapapun, tutur katanya, cara berpakainanya, dan sikapnya.
Sampai akhirnya waktu
yang dinantikan Bening pun tiba, dimana ia akan ikut tes untuk masuk perguruan
tinggi lagi pada tahun itu. Dan alhasil, usaha dan do’a Bening dan do’a dari
ayah dan ibunya pun terjawab. Bening lolos ke perguruan tinggi terbaik dan
mendapatkan beasiwa penuh hingga Bening lulus dan menjadi sarjana nanti.
Bening, ayah dan ibunya sangat senang.
Mereka berencana untuk mengadakan syukuran
atas keberhasilan Bening.
“ alhamdulilah pak, bu, Bening berhasil
mendapatkan beasiswa ini” kata bening sambil memeluk orang tuanya
“ ibu sangat yakin kamu pasti berhasil
Bening” ujar ibunya
“ bapak akan mengadakan syukran dengan
bagi-bagi bakso ke semua warga” sambung ayah Bening
Suatu hari setelah
acara syukuran, Bening memita izin dan restu kepada ayah dan ibunya untuk
menuntut ilmu ke kota, selain meminta izin untuk itu, Bening juga meminta izin
dan doa restu pada kedua orang tuanya karena Bening ingin memulai untuk belajar memakai hijab. Bening merasa hidup
dikota akan penuh dengan tantangan, sehingga ia ingin menjaga diri dan tubuhnya
dari bahaya-bahaya karena hidup dikota besar. Dan Bening sudah berfikir panjang
tentang hal ini, sampai akhinya hatinya mantap dan Bening memutuskan berhijab
mulai saat itu.
“ pak, bu.. Bening mau minta do’a restu
sebelum Bening berangkat menuntut ilmu dan menggapai mimpi Bening” ujar Bening
dengan mata yang berkaca-kaca
“ ibu dan bapak mu akan selalu mendoakanmu,
dan selalu mendukungmu Bening” ujar ibu Bening
“ iya nak, kami akan mendoakanmu selalu,
kamu harus bisa menjaga diri baikbaik disana” tambah ayah Bening
“ iya pak, bu...ohh iya pak, bu, Bening
juga mau minta izin, Bening mau belajar memakai hijab” kata bening sambil
menunjukan hijabnya
“ kamu serius, apakah kamu sudah memikirkan
ini matang-matang Bening?” tanya ibu Bening
“ iya bu, Bening sangat yakin. Sebagai
wanita muslimah, Bening ingin menutup aurat Bening dengan baik bu, selain itu
dengan berhijab mungkin Bening akan merasa aman dan nyaman”
“ ibu sangat senang dengan keputusanmu
Bening, semoga kamu bisa istiqomah dalam memakai hijab ya nak” sahut ibunya
“ bapak juga sangat senang dengan
keputusanmu nak” sambil memeuk Bening
Dan pada suatu hari
Bening berangkat ke kota, ia tinggal di asrama dan teman-teman nya juuh lebih
baik dan dapat mengerti tentang kehidupan Bening dan wajah Bening yang sampai
saat itu masih tersisa bekas luka yang cukup parah. Bening menjalani kehidupan
nya dengan tenang dan aman, sampai akhirnya ia lulus dan mendapatkan gelar
sarjana nya. Dan ia juga menjadi lulusan terbaik.
“selamat Bening atas prestasimu, kami
sangat banga padamu” ujar teman-teman Bening sambil saling memberikan
selamat
“ terimakasih teman-temanku, aku beruntung
sekali punya teman seperti kalian yang mau menerimaku apa adanya” jawab Bening
sambil memeluk temantemanya
“ justru kami sangat senang dan banyak
belajar dari mu Bening, kami juga sangat senang bisa berteman denganmu” sahut
teman Bening lainnya
Namun tak berhenti
sampai disitu saja, Bening melanjutkan kuliahnya lagi untuk bisa menggapai
mimpinya yang sebentar lagi terwujud, yaa.. menjadi dokter kulit, sejak
wajahnya terkena luka bakar itu mimpi Bening hanya ingin menjadi dokter kulit.
Ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri, sulit untuk dipercaya memang,
bahkan Bening sendiri tidak pernah berfikir dia bisa kuliah diluar negeri dan
mendapatkan beasiswa penuh disana, namun satu hal yang membuatnya ragu ketika
ia akan kuliah diluar negeri, ia tidak mendapatkan biaya transportasi untuk
bisa pergi keasana, keluarganya pun tidak mungkin punya cukup uang untuk memebeli
tiket pesawat, sampai akhirnya Bening pulang kerumah orang tuanya di desa dan
meminta saran dari ayah dan ibunya.
“ pak, bu...mengenai beasiswa Bening untuk
kuliah diluar negeri ternyata Bening tidak mendapatkan subsidi untuk transpot
ke sana”
“ kenapa wajah mu sedih begitu nak, bapakmu
ini pasti akan mencari cara supaya kamu bisa tetap berangkat kesana” sahut ayah
Bening
“ benar Bening, kita pasti akan usahakan
semampu kita. Karena ini beasiswa yang sangat langka sekali, jadi kamu harus
mengambilnya” tambah ibu Bening
“ tapi tiket untuk transportasi kesana
tidak murah” sahut Bening
“ tenang saja besok akan bapak usahkan”
tambah ayah Bening sambil tersenyum
Keesokan harinya pak
Narto, ayahnya bening, pulang kerumah sambil berteriak memanggil Bening
“ Bening..Bening..kamu bisa pergi keluar
negeri sekarang” kata ayahnya Bening
“ ada pak, kok teriak teriak begitu” sahut
ibu Bening
“ ini bu, bapak sudah punya uang untuk
Bening agar bisa berangkat ke luar negeri”
“ bapak serius?” tanya Bening dengan
ekspresi terkejut
“ iya, bapak sudah bawa uang ini untukmu
Bening, ini ambilah. Cukupkan?”
“ alhamdulillah, ini lebih dari cukup pak.
Tapi dari mana bapak mendapat uang sebanyak ini?”
tanya Bening
“ bapak habis jual gerobak bakso bapak
Bening, dan sisanya bapak hutang ke teman bapak” jawab nya
“ pak, harusnya bapak tidak perlu melakukan
ini pak” tambah Bening
“ tidak apa Bening, selama ini kamu sudah
berjuang dengan keras, dan ini waktunya bapak dan ibu kamu yang sedikit
berkorban untuk mu” tambah ibunya
“ terimakasih pak, bu.. Bening sangat
senang sekali. Dan Bening janji, Bening akan ganti gerobak bapak dengan gerobak
yang lebih bagus nanti” kata Bening sambil memeluk ayah dan ibunya
Beberapa tahun bening
tinggal diluar negeri, akhirnya ia lulus dan impiannya untuk menjadi dokter
kulit pun terwujud. ia ditawari untuk bekerja di salah satu rumah sakit besar
diluar negeri. Ia belum sempat pulang ke kampung halamannya, namun ia
mengirimkan uang hasil kerjanya untuk ayah dan ibunya setiap bulan, dan ayahnya
pun bisa kembali berjualan bakso keliling dengan membeli gerobak baru dari uang
yang diberikan oleh Bening.
Bebrapa bulan bening
bekerja dirumah sakit itu, akhinya ia bisa mulai melakukan konsultasi kepada
dokter seniornya untuk mengkilangkan
bekas luka yang ada diwajahnya. Dokter senior bening juga berasal dari
Indonesia, dan akhirnya bening dapat mulai memperbaiki bekas luka yang ada
diwajahnya itu.
“ bening, ini luka yang cukup parah, harusnya kamu bisa
mengobati luka ini sejak awal. Kenapa tidak kamu obati ?” tanya dokter senior
nya
“ waktu itu keluarga saya tidak punya cukup
biaya dok” jawab Bening
“ ini sedikit sulit, karena ini bekas luka
yang cukup lama, namun tidak apa, kita pasti bisa menghilangkan bekas lukamu
ini” kata dokter
Dan akhirnya setelah
beberapa bulan Bening melakukan perawatan dari dokter seniornya luka diwajah
Bening dapat hilang dengan sempurna, wajah Bening menjadi sangat bersih. Ia
terlihat sangat cantik. Dan tak lupa ia selalu mengirimkan fotonya pada ayah
dan ibunya di desa.
Setelah satu tahun
lebih bekerja diluar negeri, Bening memutuskan untuk pulang ke kampung
halamanya, ia ingin bekerja di negaranya sendiri agar bisa bertemu dengan kedua
orang tuanya setiap saat. Dan akhirnya Bening bekerja di sebuah rumah sakit
besar di Indonesia, selain menjadi dokter ia juga mempunyai bisnis prodak
kecantikan herbal, dan bisnisnya itu cukup sukses. Selain itu Bening juga
membeli sebuah rumah di kota, rumah itu rencanaya akan ia tinggali bersama
kedua orang tuanya. Oleh karena itu Bening pulang ke desa dan mejemput ayah dan
ibunya untuk diajak tinggal di kota.
“ pak, bu, Bening sekarang sudah bekerja di
kota, dan Bening juga punya usaha sekarang, jadi Bening mau ajak bapak sama ibu
buat tinggal dikota” ujar bening pada ayah dan ibunya
“ kami sangat bangga padamu nak, akhirnnya
semua mimpi yang kamu rajut dari kecil benarbenar terwujud” sahut ibu bening
“ terimakasih Bening putriku, bapak sangat
senang sekali” tambah ayah bening
“ sudah pak, bu. Ini semua juga berkat do’a
dan kerja keras bapak dan ibu juga. Sekarang ayo berkemas. Karena Bening sudah
membeli rumah baru untu bapak dan ibu dikota”
Matahari semakin
terik, gadis yang merenung di atas
bebatuan itu pun baru tersadar cukup lama ia merenung disana, ya... gadis yang
duduk dibebatuan itu adalah Bening. setelah Bening mengingat pertama kali ia
datang kedesa ini dengan penuh kesedihan dengan wajah yang Tidak sempurna, hingga sekarang ia menjadi wanita sukses,
cantik dan dikagumi banyak orang, dan pada ahirnya wanita cantik dan berjilbab
itu pun mengambil sebuah keputusan besar, ia memutuskan bahwa ia akan
menggunakan cadar untuk lebih menyempurnakan akhlaknya. Ia tidak inggin jika
kini wajahnya yang cantik menjadikan ia lalai, ia juga tidak ingin orang
mengagumi nya hanya karena wajah cantiknya, namun ia ingin orang lebih
mengaguminya karena prestasi dan kerja kerasnya.
Bening selalu memegang teguh bahwa
wanita akan jauh lebih bangga jika ia dikagumi karena prestasi bukan karena
wajahnya. Dan satu hal terpeting, Bening percaya bahwa kecantikan wanita bukan
dari wajahnya, namun dari kesucian hatinya dan akhlaknya.
Setelah itu Bening,
ayah dan ibunya tiggal di kota. Bening membuat rumah makan baru untuk ayahnya,
sementara itu ia tetap menjalani profesinya sebagai dokter kulit dan menjadi
pengusaha produk kecantikan herbal yang cukup sukses, dan keluarga Bening hidup
dengan bahagia.
TAMAT
JUARA 2
(Karya : Oktavianda
Riyantini Puteri)
Hiduplah seperti pohon, yang harus
mengikhlaskan daunnya mengering dan jatuh ke tanah. Itulah salah satu dari
seribu kalimat yang selalu abah ucapkan sebelum beliau meninggal. Hari ini,
tanggal 15 Januari 2018 aku harus mengikhlaskan kepergian abah untuk berjumpa
dengan tuhan semesta alam, Allah SWT. Kenangan-kenangan abah semasa hidup yang
tersimpan di dalam memori otakku, sedikit demi sedikit mulai muncul, sehingga
membuat air mataku mencucur semakin deras. Melihat abah diam tak bernafas,
membuat badanku terkulai lemas, tak mampu menahan tangis. Mulutku terus
mengucap kalimat istigfar, tak sanggup aku melihat umi yang terus-menerus
menangis sambil memeluk abah. Aku hanya bisa terdiam sambil memeluk tania,
adikku satu-satunya. Tania yang masih berumur 5 tahun, hanya bisa diam. Karena,
diumur sekecil itu dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada abah.
Kak fariz, sebagai anak tertua di keluarga, berusaha tegar di depan semua
orang. Namun, sebenarnya dilubuk hati kecilnya dia menangis tiada henti.
Keranda abah pun mulai diangkat oleh
para warga. Tangisku makin menjadi, hati kecilku ini belum ikhlas dengan
kepergian abah. Sakit yang abah derita belum lama ini. Namun, kenapa harus hari
ini nyawa abah diambil?. Pertanyaan itu terus menggeliat di hatiku. Kak fariz
juga membantu mengangkat keranda abah dengan perasaan yang berat. Umi yang
masih menangis, tak rela harus merelakan cinta sejatinya, abah. Namun, ini
semua adalah takdir yang telah ditulis indah oleh Allah SWT. Aku berusa ikhlas
dengan sekuat tenaga. Tania kupeluk erat, tak mampu aku melihat abah yang pergi
untuk selama-lamanya. Pikiranku mulai kacau, aku mulai berpikir hal-hal yang
aneh. Aku memikirkan, abah akan tidur dengan siapa disana? Abah makan apa
disana? Abah kangen sama kita gak ya disana?. Senyuman abah ketika menjemputku
pulang sekolah, tingkah lucu abah yang berusaha menghiburku, wajah lesu abah
ketika menanam padi disawah, semua kenangan itu menari-nari di dalam benakku.
Kini semua itu tidak akan terjadi lagi, karena kini abah telah tenang disamping
Allah SWT.
Tiga hari setelah kepergian abah, aku
berusaha bangkit dan bertahan sekuat tenaga agar tidak larut dalam kesedihan.
Senyum indah kak fariz, tingkah lucu tania, dan masakan umilah yang membuatku
bangkit dari kesedihanku. "Sudah bangun la?", ucap bibi nia yang
merupakan salah satu adik abah. "Iya bi, maaf ya lala bangunnya
kesiangan", ucapku. "Gapapa la. Eh iya la, tadi ada temen kamu dateng
kalo gak salah namanya Dhimas. Tapi, karena kamunya tidur, sama bibi disuruh
pulang dulu. Kasian kalo nunggu kamu kelamaan bangunnya, hehehe".
"Mas dhimas bi?", ucapku yang setengah kaget karena mendengar nama
dhimas yang terlontar dari mulut bibi. "Ya la, dhimas. Tadi dia datang
sama wanita bercadar, kayaknya istrinya deh".
Deg! Jantungku rasanya berhenti
seketika mendengar kalimat yang bibi ucapkan barusan. "Mas dhimas orang
yang aku cintai dari kecil hingga saat ini telah menjadi suami orang? Istrinya
bercadar? Siapa istri mas dhimas? Kenapa mas dhimas baru muncul hari ini?
Kenapa mas dhimas muncul disaat aku sedang berduka dan membawa berita duka
juga?". Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul didalam benakku. Hingga
tanpa kusadari, air mata mulai menetes dari pelupuk mataku. Badanku mulai
lemas, hingga kakiku tak sanggup untuk berdiri. Aku masuk kedalam kamarku,
menangis hingga tak henti-hentinya. Kenangan masa kecil kami mulai terulang
kembali.
"Mas dhimas tungguin lala
dong...", ucap seorang anak kecil yang sedang mendalami peran sebagai
seorang putri dan berusaha berlari mengejar pangerannya. "Kamu lama banget
sih la. Nanti kalo kamu jadi istri aku larinya jangan lambat ya, nanti aku
tinggal loh", ucap pangeran dari anak kecil tadi. "Lala mau jadi
istri mas dhimas, tapi lala ga bisa lari cepet. Jadi, mas dhimas larinya jangan
cepet cepet". "Ya la, iya...", pangeran itu pun mundur dan
berjalan bersama putrinya. "Lala, mahkotanya jangan dimainin gitu dong,
mas capek bikinnya. Mas bikin itu tadi malam sampe gak tidur loh".
"Iya mas iya. Mas dhimas cerewet banget sih, nanti lala gigit lo".
Pangeran dan putri terus berjalan menyusuri sawah sambil bercerita. Mereka
mulai mengarang cerita masa depan mereka yang bahkan mereka sendiri tak tahu
bagaimana yang akan terjadi sebenarnya pada masa depan mereka. Kehidupan masa
kecil pangeran dan putrinya sangatlah indah. Kisah lucu masa kecil yang
dibumbui sedikit cinta diantara mereka terasa tak akan pernah ada akhirnya.
Hingga pada suatu sore, pangeran mendatangi rumah putrinya dan berkata,
"Maaf ya la, mas dhimas harus pergi jauh dan lama banget. Mas dhimas pasti
bakalan kangen sama kamu la. Tapi, mas dhimas janji, mas dhimas akan sering
pulang biar bisa ketemu sama lala. Mas dhimas sayang banget sama lala".
Setelah mengatakan hal itu, pangeran pun memeluk dan mencium kening sang putri.
Kisah cinta pangeran dan putri berakhir disitu. Karena setelah kepergiannya,
pangeran tidak pernah kembali, bahkan tidak memberikan kabar pada
putrinya.
Kenangan itu kembali terulang dalam
memori otakku. Lala kecil yang suka bermain dan sangat mencintai mas dhimas
sebagai pangeran impiannya. Bahkan lala kecil setiap hari berdoa agar
pangerannya cepat pulang dan bertemu dengannya lagi. Namun, hal yang sebaliknya
terjadi saat ini. Sekarang harapanku untuk menjadi istri mas dhimas tinggal
kenangan. Mas dhimas telah bahagia bersama istrinya. Hatiku hancur-sehancurnya.
Belum usai kesedihanku karena ditinggal abah, sekarang bertambah lagi dengan
kedatangan mas dhimas dan istrinya. Sungguh berat kehidupanku, mulutku terus
berucap istighfar. Agar kesedihanku ini cepat berkurang, karena hanya Allah SWT
lah yang bisa memperbaiki luka dihatiku ini.
Dua minggu setelah kepergian abah,
hatiku mulai stabil. Kenangan tentang mas dhimas pun telah membaik. Aku mulai
beraktifitas seperti biasa. Pagi ini aku mulai dengan menyapu, lalu mengepel.
Setelah semua pekerjaan beres aku duduk diruang tamu sambil memakan cemilan
sisa yang umi sediakan untuk tamu.
Sore itu, saat aku menyapu teras depan
rumah, tiba-tiba datang seorang wanita dengan menggendong anak yang mungkin
sudah berumur 2 tahun. "Assalamualaikum, maaf mengganggu. Umi ada?",
ucap wanita itu. Wajahnya terlihat amat lesu, sepertinya dia telah berjalan
sangat jauh untuk sampai kerumahku. "Waalaikumsalam, ada mbak. Tunggu
sebentar saya panggilkan umi", ucapku yang langsung bergegas mencari umi
yang kebetulan sedang mengaji dikamar. "Mi, ada yang nyariin diluar. Tapi
kelihatannya dia bukan warga sini mi", ucapku. Umi yang mendengar hal itu,
langsung menyudahi kegiatannya dan bergegas pergi ke halaman depan.
"Assalamualaikum mbak, boleh saya masuk? Saya ingin menceritakan sesuatu
kepada mbak dan keluarga", ucap wanita itu. Umi mempersilahkan wanita itu
duduk dan memberinya minum. Setelah meminum air yang diberikan umi, wanita itu
pun bertanya, "Apakah boleh saya mulai ceritanya?". Umi dan aku yang
sudah sangat penasaran cerita apa yang ingin disampaikan wanita yang bahkan
tidak kami kenali identitasnya ini. "Sebelumnya, perkenalkan nama saya
fatimah dan ini anak saya fauzan. Orang tua saya adalah seorang petani yang
kebetulan teman dekat dari mas salim(nama abah). Kedua orang tua saya memiliki
hutang yang cukup besar kepada mas salim, yaitu sekitar 50 juta. Namun sayang,
keluarga kami tidak mampu membayar hutang itu. Hingga pada suatu hari, kedua
orang tua saya memiliki ide untuk menikahkan saya dengan mas salim, dengan
syarat hutang keluarga kami terlunasi semua. Dan mas salim mengiyakan hal itu.
Saya dan mas salim menikah secara agama, tapi tidak secara negara. Masa remaja
saya terpaksa saya ikhlaskan untuk menjadi istri siri mas salim. Mas salim juga
memohon kepada saya dan keluarga agar tidak memberitahukan tentang pernikahan
ini kepada istri pertamanya. Pada awal pernikahan kami, mas salim tidak meminta
haknya sebagai seorang suami. Hingga hari itu terjadi. Hari dimana saya harus
mengikhlaskan seluruh tubuh, jiwa, dan raga saya kepada mas salim. Saya menangis
sejadi-jadinya. Karena sebenarnya saya tidak mencintai mas salim. Dan ya fauzan
inilah hasil dari kejadian itu. Setelah kejadian itu mas salim tidak pernah
mengunjungi saya dan fauzan. Bahkan saya hamil, melahirkan, serta membesarkan
fauzan dengan jerih payah saya sendiri. Lama tidak terdengar kabar dari mas
salim. Namun beberapa hari yang lalu, ada seorang teman saya yang kebetulan
berasal dari desa sini menceritakan semuanya. Dia menceritakan bahwa mas salim
sudah tiada. Awalnya memang saya tidak peduli kepada mas salim, karena dia
telah tidak menafkahi saya dan fauzan. Rasa benci saya kepada mas salim amatlah
sangat besar. Namun, seluruh keluarga saya mendesak agar saya datang dan
menceritakan semuanya kepada istri mas salim. Dan akhirnya saya memberanikan
diri untuk menceritakan ini semua. Saya sangat minta maaf kepada mbak dan
keluarga, karena saya baru berani menampakkan wajah saya hari ini. Sekali lagi
maafkan saya mbak", fatimah menangis sejadi-jadinya. Aku, umi, dan kak
fariz terkejut dan tidak menyangka bila abah telah melakukan hal sekeji itu
kepada fatimah. Aku yang sudah tak dapat menahan amarah, langsung berlari
menuju makam abah. Aku berteriak di depan makam abah, dan berkata "Aku
salah menilai abah, aku selama ini berharap bahwa abah adalah cerminan calon
suamiku dimasa depan nanti. Tapi sekarang, aku tidak ingin punya suami seperti
abah. Abah tega menduakan umi. Dan bahkan abah meninggalkan wanita yang abah
nikahi. Fatimah hidup sendirian dan membesarkan anak sendirian bah...Dimana
hati abah pada saat itu. Abah adalah orang paling kejam di dunia yang pernah
lala kenal. Lala yakin abah akan dimasukkan ke neraka oleh Allah SWT...",
"Plak!" Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kiriku. Ketika aku
menoleh, betapa terkejutnya aku karena kak fariz lah yang menamparku. "Apa
yang kamu ucapkan barusan. Istighfar la istighfar. Mungkin abah memiliki alasan
tertentu kenapa abah melakukan semua itu...", ucap kak fariz. "Alasan
apa kak? Alasan tidak mau menafkahi dan hanya mau enaknya saja? Abis enak terus
dibuang? Coba kakak bayangkan betapa susahnya hidup fatimah yang harus berusaha
sekuat tenaga membesarkan anaknya sendirian. Fatimah adalah remaja yang harus
mengikhlaskan kebahagiaan masa remajanya untuk menikah dan melayani nafsu
abah.." "Plak!" Tamparan lainnya mendarat di pipi kananku. Namun
berbeda dari yang tadi, tamparan kali ini berasal dari umi. Wajah umi dipenuhi
dengan amarah, belum pernah aku melihat umi semarah ini. "Apa yang kamu
ucapkan tadi la. Ayok ulangi lagi. Umi pengen dengar ucapanmu dengan jelas. Umi
berusaha untuk ikhlas atas kejadian yang terjadi hari ini. Namun keikhlasan umi
runtuh seketika saat mendengar ucapanmu
la. Sedih hati umi, anak yang umi sayangi, berani mengatakan hal itu di depan abahnya
yang sudah tidak bernyawa. Abah sudah tidak dapat lagi menjelaskan semua ini
la. Umi harap kamu harus ikhlas atas apa yang terjadi hari ini...". Ucapan
umi membuatku tersadar, semua yang kulakukan ini sia-sia. Abah tidak akan
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Abah juga tidak akan mendengarkan
semua ucapan serta sumpah serapahku ini. Semua yang kulakukan sia-sia.
Tangis kita bertiga tak dapat terbendung. Fatimah yang
berada di depan gerbang makam, tak berani mengganggu kesedihan yang sedang kami
rasakan kali ini. Fatimah hanya bisa diam dan berusaha untuk tegar melihat
kami.
Malamnya, kami semua berkumpul lagi
diruang tamu. Umi, aku, dan kak fariz setuju agar fatimah tinggal disini. Namun
fatimah menolaknya. Ia merasa bahwa kedatangannya kesini telah membawa
kesedihan yang amat sangat dalam bagi keluarga kami, apalagi bila ia tinggal
disini. Dengan sekuat tenaga umi meyakinkan fatimah agar mau tinggal disini.
Hingga pada akhirnya, umi membuat persetujuan dengan fatimah. Umi bersedia
merawat fauzan, umi ingin fatimah senang lagi seperti sedia kala. Umi tau
fatimah ingin masa remajanya kembali. Dan fatimah menyetujui hal itu. Fatimah
berjanji bahwa ia akan sering datang kesini untuk melihat keadaan fauzan.
Malam ini fatimah menginap dirumah
kami. Malam ini fatimah menguatkan hatinya untuk mengikhlaskan buah hatinya
yang sudah ia rawat selama 2 tahun ini untuk tinggal dengan keluarga abahnya.
Fatimah menangis, hingga tanpa ia sadari, ia terlelap dalam lautan mimpi.
Keesokan paginya, kak fariz
mengantarkan fatimah untuk kembali ke desanya. Sebelum pergi fatimah memeluk
umi dan berkata "Maaf saya datang untuk merepotkan mbak dan keluarga. Maaf
saya harus menitipkan fauzan pada mbak. Maaf dan terimakasih mbak". Umi
hanya bisa mengiyakan ucapan fatimah. Tak lupa fatimah memeluk dan mencium fauzah
dengan penuh kasih sayang. Tanpa kusadari air mataku menetes sedikit demi
sedikit. Momen haru perpisahan fatimah dan fauzan membuat hatiku terketuk. Tak
bisa kubayangkan jika suatu hari nanti aku akan juga berpisah dengan umi.
Setelah momen perpisahan yang cukup haru, fatimah pun naik ke motor kak fariz
dan berangkat dengan hati yang berusaha tegar. Hari demi hari kami lewati
dengan penuh kebahagian, namun masing-masing dari kami masih saja menyimpan
kesedihan didalam hati kecil. Namun kesedihan itu harus kami tutupi dengan
kebahagiaan.
Di Suatu sore, aku dan umi sedang
memasak didapur. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar, aku yang
kebetulan sedang mengupas bawang langsung berlari menuju pintu depan.
"Assalamualaikum dek lala, ini bapak mau ngasih undangan. Karena besok
akan diadakan sosialisasi mengenai penyakit HIV/AIDS di balai desa. Undangannya
cukup 1 orang saja yang datang", ternyata itu pak RT yang kelihatannya
sedang terburu-buru untuk membagikan undangan kepada warga. Tanpa berpikir panjang
aku langsung menerima undangan itu, dan tak lupa mengucapkan terimakasih kepada
pak RT. Setelah pak RT pergi meninggalkan rumah kami, aku langsung memberikan
undangan itu tanpa membukanya. Malam harinya saat dimeja makan, umi
memberitahukan kepada kami bahwa umi, kak fariz, serta fauzan besok akan pergi
ke rumah fatimah untuk menjenguk ibu fatimah yang sedang sakit. Dan umi pun
berkata "Jadi besok umi sama kak fariz gak bisa dateng ke acara itu la.
Minta tolong kamu aja yang gantiin aja ya la yang dateng ke acara itu. Oh iya,
umi juga mau nitip tania ke kamu. Kalo gak salah baca acaranya besok jam 10
siang". Aku hanya bisa mengiyakan perkataan umi, karena aku sudah tahu
sejak awal bahwa akulah pastinya yang akan datang jika ada acara seperti ini.
Keesokan paginya, aku bangun kesiangan. Kulihat diluar kamarku sudah sepi, yang
artinya umi sudah berangkat. Kulihat jam dinding yang ternyata telah menunjukan
jam 9.30. Aku pun bergegas bersiap-siap agar tidak terlambat menuju acara itu.
Setelah siap, aku pun berangkat sambil menggendong tania menuju balai desa.
Sesampainya ditempat, aku langsung menuju ruangan yang dituju. Dan betapa
terkejutnya aku ketika melihat ruangan itu telah dipenuhi orang yang telah
duduk dikursi, aku pun bergegas mencari kursi agar tidak terlalu menjadi pusat
perhatian. Ketika aku melihat orang yang sedang berbicara didepan panggung
sana, tubuhku seketika mengkaku. Karena orang yang sedang membawakan acara ini
ternyata mas dhimas, orang yang aku cintai. Aku baru mengetahui bahwa mas dhimas
adalah seorang dokter. Dan disebelah mas dhimas, berdiri seorang wanita
bercadar yang kelihatannya tengah mengandung. "Oh mungkin wanita itu yang
dimaksud bibi waktu itu", ucapku yang sedikit kebingungan. Acara
berlangsung dengan lancar, semua orang terlihat tenang dalam mendengarkan
materi yang dibawakan mas dhimas. "Baiklah, untuk mencontohkan hal yang
selanjutnya dilakukan, saya membutuhkan seorang relawan", ucap mas dhimas.
Semua orang terdiam, entah karena takut untuk maju atau memang tidak paham dengan
materi yang disampaikan. "Ya sudah kalau tidak ada yang maju, saya akan
pilih secara acak. Minta tolong mbak yang tadi telat maju ke depan
sebentar". "MAMPUS KAU!", ucapku dalam hati. Wajahku seketika
memerah, aku tak berani melangkah dari tempat dudukku karena malu dilihat orang
banyak. "Kalo tidak mau maju, saya jemput kesana", ucap mas dhimas
yang langsung melangkahkan kaki ke tempat dudukku. Tanganku ditarik paksa oleh
mas dhimas agar mau maju kedepan. Jantungku berdetak dengan kencang, sudah lama
aku tidak merasakan kelembutan tangan mas dhimas. Pipiku semakin memerah,
mungkin sekarang pipiku sudah seperti tomat. "Tangan mas dhimas
menyentuhku? Ini sungguh kesempatan yang aku inginkan sejak lama...",
ucapku dalam hati. Sekarang aku berada didepan, dihadapan semua orang, tania
kutitipkan pada tetanggaku yang kebetulan duduk disebelahku. Aku tak tau apa
yang harus kulakukan, aku berdiri diantara mas dhimas dan istrinya. Aku bingung
perasaan apa yang kurasakan sekarang. Lalu mas dhimas menjelaskan apa yang
harus kulakukan. Dan ya, aku melakukan sesuai perintah mas dhimas dengan
perasaan yang tak karuan. Dan akhirnya selesai juga, aku langsung berlari
menuju tempat dudukku. Jantungku masih saja berdetak kencang, kejadian yang
baru saja terjadi, adalah salah satu kejadian yang aku inginkan dan aku
rindukan sejak dulu. Kelembutan tangan mas dhimas masih membekas di tanganku.
Ya allah perasaan apa ini? Jangan sampai rasa cintaku kepada mas dhimas masih
ada. Aku takut jadi perusak rumah tangga orang.
Acara pun berakhir aku bergegas
meninggalkan ruangan. Namun takdir berkata lain, saat aku berada di ambang
pintu ruangan, mas dhimas menarik tanganku menuju belakang balai desa. Tempat
itu cukup sepi. "Kenapa kamu menghindariku la?", ucap mas dhimas
penuh amarah. "Maaf mas, lala tidak menjauhi mas. Tapi, lala menjaga jarak
saja dari mas dhimas. Karena lala tau kalo mas dhimas sudah punya istri",
ucapku dengan kepala menunduk karena tak berani melihat wajah mas dhimas.
"Sekarang kamu duduk disini la, mas akan menceritakan semuanya agar kamu
tidak salah paham", ucap mas dhimas sambil menunjuk sebuah kursi panjang.
Aku pun menurutinya dan duduk bersama tania yang kupangku. "Mas akan
ceritakan semuanya dari awal la, lala dengerin baik-baik", ucap mas dhimas
yang wajahnya masih dipenuhi amarah. "Sebelumnya mas minta maaf banget,
karena setelah pindah ke kota mas gak pernah ngabarin kamu sekalipun. Tapi,
jujur dari lubuk hati terdalam mas masih cinta kamu. Jujur demi Allah, mas gak
pernah pacaran sekalipun sebelumnya. Soal istri mas, mas akan ceritakan semua
dari awal. Namanya laila, dia seorang dokter muda yang kebetulan baru di
tugaskan di rs di tempat mas bekerja. Kami semua senang dengan kedatangan
laila. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk membuat pesta kedatangan laila.
Tapi saat pesta itu mas memilih pulang duluan, karena mas tahu bahwa
teman-teman mas akan minum miras. Ternyata pada malam itu hal yang tak
diinginkan antara laila dan aldi pun terjadi. Beberapa bulan kemudian, laila
menemui aldi. Laila mengatakan bahwa aldilah ayah dari anak yang sedang
dikandung laila. Mendengar hal itu, aldi yang tengah dipenuhi amarah memacu
sepeda motornya dengan kencang hingga kecelakaan dan kritis. 5 hari aldi
dirawat dirumah sakit, namun sayang nyawanya tak tertolong. Kata-kata terakhir
yang aldi sampaikan kepadaku ialah agar aku berjanji untuk menikahi laila. Aku
yang kaget dan tak bisa berkata apapun hanya mengiyakan janji itu. Aku pun
menikahi laila. Dan sebelum maupun setelah menikah, aku tidak pernah sekalipun
menyentuh laila. Bahkan kamar kami pun terpisah. Semua itu terjadi karena
satu-satunya orang yang aku cintai hanya kamu seorang la...". Mendengar
semua hal itu, hatiku senang, namun di lain sisi, aku kasihan kepada laila yang
sekarang telah berstatus sebagai istri mas dhimas. Ternyata cintaku pada mas
dhimas terbalaskan. Namun, laila pasti juga mencintai mas dhimas sebagai
suaminya. Ya allah, mana mungkin aku bisa mencintai orang yang berstatus
sebagai suami orang lain?. "Maaf mas, kisah cinta diantara kita ini adalah
haram hukumnya. Mas saat ini telah berstatus sebagai suami orang. Dan saya
tidak mungkin tiba-tiba hadir dan merebut kebahagiaan laila", ucapku yang
kebingungan. "Kalo begitu, bagaimana kalo kita menikah la? Kamu jadi istri
keduaku, kamu mau kan?", ucap mas dhimas memandangku dengan penuh
semangat. "Astaghfirullah hal adzim, apa yang mas bicarakan barusan! Dalam
islam memang dibolehkan berpoligami, tapi dengan syarat istri mas dan orang
yang akan menjadi calon istri mas setuju untuk dipoligami. Mas, bukan aku
menolak untuk dipoligami, tetapi aku memiliki trauma yang cukup mendalam
tentang poligami...", ucapku yang langsung teringat kejadian tentang
fatimah. "Kalo begitu, mas ceraikan saja laila agar kami mau jadi istri
mas", ucap mas dhimas yang masih menginginkan aku sebagai istrinya.
"Astaghfirullah hal adzim, istighfar mas istighfar... Sepertinya arah
pembicaraan mas ini semakin ngelantur. Kalo begitu lebih baik lala pulang saja.
Hawa nafsu mas buat nikahin lala tidak berkurang. Assalamualaikum mas", aku
langsung meninggalkan mas dhimas yang penuh kebingungan. Keinginan mas dhimas
yang ingin memperistriku semakin tidak terkontrol. Bahkan mas dhimas ingin
menceraikan laila. Aku tidak tahu hal apa yang mas dhimas pikirkan sehingga
memiliki pemikiran seperti itu. Aku pun pulang dan tak memikirkan hal itu sama
sekali.
Setelah mendapatkan sosialisasi
mengenai penyakit HIV/AIDS, hatiku mulai tergerak untuk melakukan perubahan
pada desa ini. Karena aku tahu di desa ini, atau bahkan di desa luar masih
banyak anak-anak remaja dibawah umur yang masih belum memahami mengenai
penyakit ini. Sore harinya aku datang kerumah pak rt untuk meminta persetujuan
mengenai niatku untuk mendatangi setiap rumah warga. Dan nantinya aku ingin
menjelaskan kepada seluruh warga mengenai penyakit HIV/AIDS, seks bebas, dan
juga pernikahan dini yang masih marak terjadi didesa kami. Pak rt sangat setuju
dengan usulanku dan pak rt juga sudah memberitahukan pak kades mengenai hal
tersebut. Pak rt juga siap membiayai apapun yang aku butuhkan. "Tapi mohon
maaf sebelumnya pak, saya butuh teman untuk melakukan sosialisasi ini. Karena
ya rumah warga di desa ini banyak", ucapku pada pak rt. "Kalo itu
siap dek lala. Oh iya dek, pak kades ini menyarankan agar dek lala juga dibantu
dengan dokter yang melakukan sosialisasi kemarin dan pak kades juga sudah
meminta izin pada dokter itu. Dan alhamdulillah dokternya mau", ucap pak
rt yang membuatku kaget. "Mohon maaf pak rt mau nanya, dokter yang
sosialisasi kemarin itu berapa bulan ya pak sudah ada disini?", ucapku
yang sangat ingin menanyakan hal ini kepada mas dhimas, tapi malu untuk
bertanya. "Kalo dokternya udah 1 bulan disini dek lala. Kalo lamanya
mereka tinggal insyaallah 3 bulan, karena mereka ada penelitian juga
disini", ucap pak rt menjelaskan. "Oh iya baim bapak, kalo seperti
itu saya minta bantuannya pak untuk siapa saja yang akan membantu saya. Dan
minta tolong sekali pak agar yang akan membantu saya untuk berkumpul besok di
balai desa, agar kami enak membagi kelompoknya...", ucapku. "Oh iya
dek lala, kalo itu gampang", ucap pak rt dengan penuh keyakinan. Setelah
pembicaraan itu aku pamit kepada pak rt untuk pulang, karena waktu maghrib
sudah hampir tiba.
Keesokan harinya, aku bergegas menuju
balai desa dan ketika aku sampai sudah ada sekitar 15 orang yang telah datang.
Dan kulihat ada mas dhimas disana, namun tidak ada laila disampingnya. Karena
aku tidak ingin mengulur waktu, aku langsung membuka acara rapat dan membagi
seluruh orang yang hadir di rapat menjadi beberapa kelompok untuk didistribusikan
menyampaikan materi secara langsung kepada warga. Sebelum itu, aku dan para
dokter yang hadir menyampaikan materi terlebih dahulu kepada para peserta rapat
mengenai HIV/AIDS, seks bebas, dan pernikahan dini. Semua peserta rapat
mendengarkan dengan seksama. Aku tidak bisa menahan senyum melihat antusias
orang-orang untuk melakukan tugas yang mulia ini. Sungguh rasa senang yang tak
dapat ku jelaskan dan juga rasa syukur kepada Allah SWT atas apa yang terjadi
hari ini, hari kemarin, dan hari esok. Acara sosialisasi kepada para panitia
hari ini berjalan dengan lancar, dan besok kami sudah mulai melakukan
sosialisasi secara langsung kepada warga. Selama acara berlangsung aku
menghindari mas dhimas, karena aku takut mas dhimas akan berkata seperti
kemarin.
Keesokan paginya, kami berkumpul di
depan balai desa. Namun setelah cukup lama menunggu, aku baru mendengar kabar
jika teman 1 kelompokku jatuh sakit. Aku kebingungan bagaimana caraku
mensosialisasikan tanpa ada orang yang membantu. "Kalo begitu kamu sama
aku aja la, dikelompokku kebetulan ada 3 orang...", ucap mas dhimas
tiba-tiba. Aku yang kaget dan bingung harus menjawab apa, hanya bisa mengiyakan
omongan mas dhimas. Tanpa menunggu lama kami semua pun berangkat menuju rumah
warga. Satu per satu rumah warga kudatangi dengan mas dhimas. Di perjalan
menuju dari rumah warga yang satu ke rumah warga yang lain, tidak ada yang kami
bahas selain tentang sosialisasi ini. Aku senang mas dhimas tidak mengungkit
apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Namun ada sedikit kecanggungan
diantara kami.
Lima hari pun telah berjalan,
sosialisasi ini mendapat respon baik dari warga desa. Banyak warga desa yang
mulai memahami dan mengenal apa itu HIV/AIDS, memahami dan mulai menghindari
seks bebas secara perlahan-lahan, dan banyak warga desa kami yang sudah mengerti
tentang pentingnya memahami kelebihan dan kekurangan pernikahan dini. Respon
warga yang sangat mendukung kegiatan kami ini, membuatku dan seluruh panitia
menjadi sangat senang. Kami sangat bahagia akhirnya seluruh kerja keras kami
terbayar dengan sangat baik. Tak lupa kami ucapkan syukur kepada Allah SWT atas
apapun yang telah diberikan kepada kami. Program sosialisasi ini semakin
terkenal, banyak warga desa sekitar yang sangat menanti kedatangan kami ke
rumah-rumah mereka untuk mensosialisasikan program ini. Subhanallah, sungguh
hal yang tak terduga.
Satu bulan telah berlalu, program kami
semakin dikenal oleh banyak masyarakat desa sekitar. Aku yang awalnya hanya
warga biasa pun menjadi ikut terkenal karena program ini. Banyak warga yang
sangat ingin menikahkan anak laki-lakinya kepadaku. Namun, hati tidaklah bisa
berbohong, aku masih mencintai mas dhimas sama seperti dahulu. Oh iya mengenai
mas dhimas, dia sudah pulang ke kota. Beberapa hari yang lalu aku sempat
melihat dia memasukkan semua koper dalam bagasi mobil. Ya... aku tidak bisa
menahan mas dhimas untuk lebih lama tinggal disini, karena aku tau mas dhimas
pasti memiliki kesibukan tersendiri disana. Umi dan kak fariz pun semakin hari
semakin melupakan semua kejadian kelam yang pernah terjadi di keluarga kami.
Sekarang kak fariz tak hanya bekerja disawah, namun juga bekerja disebuah toko
material sebagai kuli angkut. Umi sekarang telah membuka catering yang
pelanggannya berasal dari kota. Fatimah sekarang bekerja sebagai pengantar
makanan catering ke kota, aku senang melihat fatimah bahagia.
1 tahun telah berlalu, program kami
semakin dikenal warga kota. Bahkan beberapa hari yang lalu aku diundang ke
acara talkshow sebuah stasiun tv terkenal. Aku sangat senang karena dengan
semakin dikenalnya programku ini, maka makin banyak pula orang yang dapat
belajar dari program kami. Relawan yang membantu program kami semakin banyak,
bahkan tersebar hampir diseluruh indonesia. Setiap minggunya kami mengadakan
meeting secara virtual untuk membahas perkembangan program kami. Catering umi
pun semakin laris, sehingga pendapatan kami makin bertambah. Kak fariz sekarang
telah memiliki toko material sendiri. Sawah yang merupakan satu-satunya
peninggalan abah, kini dikelola oleh orang lain, namun kami tetap mendapatkan
hasil dari sawah tersebut. Fatimah kini telah bersuami, dia menikah dengan anak
salah satu dari pelanggan catering umi. Tak lupa aku mengucapkan syukur kepada
Allah SWT, atas berkat, rahmat, serta hidayahnya sehingga kehidupan keluarga
kami menjadi lebih baik. Sungguh rencana Allah SWT sangatlah indah, bahkan
kisah kehidupan yang mungkin menurut orang tidaklah mulus, akan jadi mulus
ketika kita selalu mengingat asma allah didalam segala perkara. Subhanallah.
Malam yang indah, aku sedang duduk di
teras rumah. Tiba-tiba ada mobil merah yang datang dan parkir didepan rumahku.
Aku yang saat itu tengah duduk, langsung berdiri dan membukakan pagar karena
mendengar suara bel rumah yang dipencet oleh orang yang baru saja turun dari
mobil tersebut. Dan tak kalah terkejutnya aku ketika melihat tubuh gagah mas
dhimas yang tengah menggendong seorang balita yang tengah tertidur.
"Assalamualaikum la, boleh aku masuk? Aku ingin membicarakan sesuatu
kepada kamu dan seluruh keluargamu", ucap mas dhimas. "Waalaikumsalam,
boleh mas. Silahkan masuk...", langsung kupersilahkan mas dhimas masuk dan
aku mengekor di belakang mas dhimas. Kupersilahkan mas dhimas duduk. Mas dhimas
pun duduk dan membaringkan balita yang ia gendong disampingnya. "Sebentar
ya mas saya panggilkan umi dulu", ucapku yang langsung bergegas menuju
kamar umi. Sesampainya di kamar umi langsung kuceritakan apa yang terjadi
barusan, dan juga mengatakan maksud kedatangan mas dhimas kesini. Umi pun
keluar kamar, dan aku mengekori umi dibelakang. "Assalamualaikum umi, apa
kabar umi dan keluarga?", ucap mas dhimas yang langsung berdiri dan
mencium tangan umi. "Waalaikumsalam nak dhimas. Alhamdulillah baik. Oh iya
nak dhimas, ada perlu apa ya sama umi?", ucap umi yang duduk didepan mas
dhimas. "Jadi, kedatangan saya kesini...saya ingin mengkhitbah lala untuk
menjadi istri saya...", ucap mas dhimas yang langsung aku potong.
"Apa yang mas dhimas bicarakan, kan saya sudah bilang. Saya tidak mau
menjadi istri kedua dan tidak mau dipoligami. Kenapa mas dhimas tidak paham
juga dengan omongan saya...", ucapku dengan sedikit amarah.
"Dengarkan dulu apa yang nak dhimas ingin bicarakan. Jangan langsung
pembicaraannya. Itu tidak sopan...", ucap umi yang menegurku. Aku pun
hanya bisa mengucapkan kata maaf dan tertunduk malu. "Baik saya lanjutkan
umi. Jadi, memang sebelumnya saya beristri. Namun, istri saya meninggal karena
kanker otak beberapa bulan yang lalu. Anak yang saya bawa ini, bukanlah anak
antara almarhumah istri saya dan saya. Karena saya tidak pernah sekalipun menyentuh
almarhumah istri saya. Anak ini adalah anak dari almarhumah istri saya dengan
almarhum sahabat saya. Saya menikahi istri saya karena sudah berjanji kepada
almarhum sahabat saya. Namun kalo boleh jujur, dari lubuk hati paling dalam
saya masih mencintai putri kecil saya, lala. Jadi, apakah umi mengizinkan saya
untuk mengkhitbah lala?", ucap mas dhimas dengan mata penuh harapan kepada
umi. "Kalo dari umi dan keluarga mempersilahkan nak dhimas untuk
mengkhitbah lala, tapi umi juga harus mendengar keputusan dari lala. Bagaimana
lala?", tanya umi kepadaku. "Bismillahirrahmanirrahim, dengan izin
Allah SWT dan restu keluarga, saya siap menjadi istri mas dhimas...",
ucapku yang langsung disambut dengan ucapan hamdalah dari seluruh orang yang
ada di ruangan tersebut. "Tapi, apakah boleh saya mengajukan
syarat?", ucapku yang membuat semua orang terdiam. "Ya la,
silahkan", ucap mas dhimas mempersilahkan. "Yang pertama, saya ingin
pernikahan ini tidak terlalu mewah dan meriah. Cukup mengundang keluarga dan
teman dekat saja. Yang kedua, izinkan saya mengurus dan membesarkan anak dari
almarhumah laila dan almarhum aldi. Yang ketiga dan yang paling penting, saya
tidak ingin dimadu. Bagaimana mas dhimas, apakah sanggup dengan semua syarat
yang saya ajukan?", tanyaku pada mas dhimas. "Saya sanggup la. Saya
juga ingin mengajukan satu syarat saja, yaitu jadilah istri yang menurut pada
suami. Apakah kamu sanggup la?", tanya mas dhimas padaku. "Iya mas,
insyaallah saya sanggup". Malam itu adalah malam paling bahagia dalam
hidupku, aku dan mas dhimas akan menjadi sepasang suami istri. Sungguh rencana
Allah SWT memang tidak bisa ditebak. Aku tidak sabar akan menjadi istri mas
dhimas dan merawat pangeran kecil kamu. Kisah perjalanan hidupku sungguh penuh
likaliku. Dan tentunya aku pernah berputus asa. Namun aku sadar, kesedihan
karena lika-liku itu kini telah terbayar sudah dengan kebahagiaan yang amat
sangat indah. Menjadi istri mas dhimas adalah sebuah impian yang ingin sekali
aku rasakan sejak dulu. Terimakasih Ya Allah, rencanamu sungguh indah.
TAMAT
JUARA 3
(Karya : Nidya
Puspithasari)
Kulihat bintang-bintang dilangit, dengan memberikan senyuman seraya diiringi kegelapan yang mulai menutupi paras bintang, kerinduan apa yang paling didambakan kecuali semburat cahaya fajar yang menghangatkan kehidupan. Sejenak aku terdiam mengikuti bayang-bayang yang membawaku ke alam bawah sadar, mengingatkanku kembali pada memori-memori hidup yang penuh dengan pahitnya perjuangan, tangisan, do’a, serta harapan yang dulu sempat kuucapkan. Tak kusadari air mataku mulai menetes membasahi pipi teringat masa lalu yang begitu pedih.
Namaku Asha Dwi, nama
yang memiliki arti “Harapan Kedua”. Aku merupakan anak bungsu dari dua
bersaudara, kakakku bernama Aisya Sadiya yang berarti gadis cantik pembawa
keberuntungan. Umur kita berselisih 3 tahun. Ayahku dulunya bekerja sebagai
sopir perusahaan di kotaku dan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Aku
sangat sayang kepada ayah dan ibu. Ayah orangnya pintar, disiplin dan dia
selalu berpesan agar aku tidak pernah meninggalkan kewajibanku, yaitu sholat
lima waktu. Begitupun dengan ibu, beliau merupakan sosok wanita tersabar di
dunia yang pernah aku temui. Beliau sangat menyayangiku, selalu kulihat ibu
tersenyum meskipun dalam hati kecilnya sedang menangis. Di mata anak-anaknya
tidak pernah kulihat ibu mengeluh, selalu tegar, semangat, dan menebar
kebahagiaan dalam keluarga kecilku.
Kehidupan keluargaku
awalnya baik-baik saja, aku tau dunia pasti berputar terkadang kita berada
diatas merasakan segala kebahagiaan dan indahnya kehidupan dunia. Dan pada saat
pedal kehidupan mulai diayuh saat itu juga kita akan merasakan sebaliknya.
Berusaha melawan pahitnya kehidupan dan berjuang untuk bisa kembali ke atas.
Namun, untuk melakukan itu semua tidak semudah membalikkan telapak tangan,
begitu banyak perjuangan yang harus kita lakukan.
Saat aku berada dibangku menengah
pertama itu adalah tahun yang sangat bersejarah. Musibah besar menimpa
keluargaku, rumah yang kita tinggali telah terbakar. Aku masih ingat betul
kejadian malam itu, saat aku tertidur ayah tiba-tiba membangunkanku dan
menyuruhku untuk bergegas keluar dari rumah. Kulihat beberapa tetangga
berbondong-bondong membawa ember berisi air untuk menyiram rumahku yang sudah
dimakan api. Ibuku pingsan setelah benyak menghirup asap panas yang berada di
sekeliling rumahku, begitu juga dengan kakakku yang terus menangus dan berusaha
membangunkan ibuku. Untungnya, dari tragedi tersebut tidak ada korban jiwa akan
tetapi harta yang kami miliki sudah hangus terbakar habis tak tersisa.
Setelah peristiwa pahit yang menimpa
keluarga kami, aku sering melihat ayah melamun, bahkan beberapa kali kulihat
ayah dan ibu bertengkar kecil. Seringkali aku menangis saat terbayang
pertengkaran ayah dan ibu, yang dulunya beliau akur
dan saling menghibur satu sama lain, kini sedikit berubah setelah kejadian
waktu itu. Apa mungkin karena trauma? Entahlah, tapi kuharap beliau akan Kembali seperti dulu. Tanpa terasa saat
menjelang tidur air mataku jatuh membasahi bantal melihat kondisi keluarga yang
sedang tidak baik-baik saja. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, beberapa minggu
setelah kebakaran rumah terjadi Ayah mendapat kabar bahwa perusahaan tempat ia
bekerja mengalami kebangkrutan sehingga perusahaan akan melakukan pengurangan
karyawan. Tiap malam ayah selalu berdoa agar beliau masih tetap bekerja diperusahaan
tempat ia bekerja dikarenakan kondisi ekonomi keluarga kami yang belum stabil,
tetapi takdir tidak bisa ditolak nama ayahku pun ada dalam daftar pengurangan
karyawan. Saat itu ayah pingsan melihat amplop berisi surat yang bertuliskan
namanya ia sangat kepikiran jika nantinya tidak bisa membiayai aku dan kakakku
untuk bersekolah.
Semenjak ayah tidak
bekerja kak Sadiya lebih sering marah-marah karena tidak mendapat uang saku
bulanan dan ayah tidak segera mencari pekerjaan pegganti. Ayah pun mulai menyalahkan
diri sendiri, aku sering melihat ayah menjambak rambutnya bahkan memukul tembok
karena tidak bisa melampiaskan amarahnya, aku sering menghibur ayah agar tidak
terlalu dibawa stres aku sering bilang kepada ayah bahwa Allah sedang menguji
kesabaran kita, Allah memberikan ujian ini kepada keluarga kita karena Allah
tau kalau keluarga kita keluarga hebat, keluarga kita keluarga kuat, kita pasti
bisa menjalani ujian kehidupan ini, seketika aku melihat senyuman diwajah ayah
lalu ayah memelukku sangat hangat. Beberapa hari kemudian ayah pamit akan
pulang ke kampung halamannya untuk menenangkan pikiran dan mencari pekerjaan
seadanya untuk menafkahi keluarga, karena sampai saat ini ayah belum dapat
panggilan pekerjaan di kota.
Ditengah kondisi
ekonomi keluarga yang memburuk, aku mendapatkan kabar dari ayah, hari ini aku
mendapatkan selembar surat dan amplop coklat yang berisi uang dari Ayah yang
isinya, “Maafkan Ayah baru bisa memberi kabar saat ini, ponsel ayah ayah jual
untuk menyambung hidup di desa, ayah sudah mendapatkan pekerjaan sebagai buruh
tani di desa, walaupun gaji ayah tidak seperti saat bekerja dikota dahulu tapi
ayah harap uang ini bisa kalian gunakan sebaik-baiknya, ayah baik-baik saja
disini, bagaimana kabar kalian disana? Ayah sangat rindu Ibu, Sadiya dan Asha.
InsyaAllah ayah akan mengunjungi kalian sebulan lagi, ayah masih mencari modal
untuk bisa kembali ke kota. Tunggu kedatangan ayah yaa, salam cinta dari Ayah
untuk keluarga.” Ibu menangis saat membaca surat dari ayah, aku disini sangat rindu
dengan ayah, aku harap ayah segera pulang dan keluarga kami bisa kembali
seperti dahulu lagi.
Setelah menunggu
kepulangan ayah yang tak kunjung datang, aku mendapatkan kabar dari desa bahwa
ayahku menderita penyakit stroke. Aku teringat baru saja dua bulan yang lalu
ayah mengirim surat dan mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja disana, tetapi
bagaimana hal ini bisa terjadi aku tidak dapat membayangkan bagaimana kalau aku
yang sedang berada diposisi ayah. Mataku tak kuasa menahan tangis saat
memandang ibu memelukku dan air mata membasahi pipinya. Sejak saat itulah hanya
ibu seorang diri yang mengasuh, membiayai, dan merawat aku serta kakakku.
Setelah ayah sakit aku tidak lagi mendapatkan surat kabar dari ayah dan aku
tidak bisa bertemu dengan ayah karena ayah tinggal di Kalimantan (kampung
halamannya) aku juga tidak memiliki biaya untuk menjenguknya. Beberapa minggu
kemudian Alhamdulillah kini ibuku mendapat perkerjaan sebagai buruh cuci di
rumah-rumah tetangga dan ibu juga menitipkanku nasi bungkus untuk dijual
disekolah tetapi kak Sadiya tidak mau menjual nasi bungkus alasannya karena
sudah banyak penjual dikantin sekolahnya, walaupun upah berjualan nasi bungkus
tidak besar aku sangat bersyukur setidaknya masih bisa jajan seperti
teman-temanku yang lainnya.
Hidup adalah perjuangan yang harus
dimenangkan dan hidup adalah tantangan yang harus dihadapi. Keinginannku untuk
melanjutkan sekolah ke tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) terhalangi karena
kakakku Sadiya ingin melanjutkan kuliah ibu tidak sanggup jika harus membiayai
keduanya dan tidak mumpunyai biaya untuk kedepannya. Aku sedikit merasa kecewa
saat tidak bisa melanjutkan keinginanku untuk bersekolah, aku yakinkan diriku
“tidak apa-apa ya Allah aku ikhlas sekolah sampai SMP, biar kakakku kuliah yang
penting ibuku tidak terbebani dan keluargaku masih bisa makan, setelah itu aku
akan mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarga dan segera bertemu dengan
ayah, jika ini memang takdir darimu aku yakin ini adalah yang terbaik, aku
yakin suatu saat pasti akan kau berikan kebahagiaan kepada hambamu yang tiada
habisnya”.
Segala sesuatu tergantung kepada niat,
saat tulang mulai rapuh dan pandangan menjadi samar hasrat apa yang paling
mendera kecuali lahirnya generasi rabani yang berkeinginan mewujudkan
mimpi-mimpinya yang tertunda. Sekarang aku mulai menghasilkan uang sendiri dari
mengajar anak-anak SD dirumah dan saat pagi aku menjaga warung nasi yang tak jauh
dari rumahku, kak Sadiya juga sudah kuliah di luar kota tetapi sampai sekarang
aku belum mendapat kabar darinya tetapi aku sangat senang karena sudah bisa
mengirim uang ke kak Sadiya untuk biaya kehidupan di luar kota.
Hingga pada suatu hari ibu bertemu
dengan teman SMA kak Sadiya, Entah setan apa yang merasuki putri sulungnya yang
ternyata selama ini kak Sadiya tidak kuliah, dengan teganya ia membohongi orang
tuanya bahkan adiknya Asha yang rela tidak melanjutkan sekolahnya karena harus
mengalah kepada kakaknya. Padahal kalau dipikir-pikir lulusan SMA seperti kak
Sadiya sudah bisa mendapatkan lowongan pekerjaan yang dapat memberi cukup
penghasilan di kantor-kantor kecil, daripada lulusan SMP sepertiku yang akan
dipandang remeh oleh beberapa orang. Betapa hamba merintihkan hasrat yang tak
terperikan, melihat kakaknya yang selama ini menjadi panutan ternyata adalah
generasi sesat yang salah pergaulan, rasa hati tercabik-cabik uang yang selama
ini Asha kumpulkan dengan keringatnya sendiri, terpaksa menahan napsu keinginan
hanya untuk memberikannya ke kakaknya yang tidak tahu dikasihani. Ibu Asha
terus menasehatinya agar tetap sabar, ikhlas, semua pasti ada berkahnya.
Sakit hati tidak dapat dibohongi,
hingga akhirnya pada suatu malam, aku layangkan doa seraya menangis, meminta
pada Allah untuk menghilangkan rasa benci yang ada dihatiku kepada kak Sadiya.
Kini aku melanjutkan kehidupanku seperti biasanya aku juga melanjutkan kejar
paket agar bisa mendapatkan ijazah sekolah dan bekerja di perusahaan yang aku inginkan.
Ibu juga membuka warung makan kecil di depan rumah, terkadang sedih melihat
teman-teman seusiaku bisa bersekolah tanpa memikirkan biaya untuk sekolah,
sedangkan aku tidak bisa melanjutkan sekolah dan harus bekerja untuk mencari
biaya sendiri untuk bersekolah. Banyak dari mereka yang masih merasa bahwa
kehidupan adalah tempat suka cita, padahal ia hanya sedang berada diperjalanan
yang akan membawanya ke kehidupan duka cita.
Tak luput dari satu kesedihan, kini
awan hitam ditemani petir yang menyambar terlihat menyambut datang dari arah
yang berbeda. Belum sempat keinginan Asha terwujud untuk bertemu ayahnya di
Kalimantan ia mendapatkan kabar, bahwa ayahnya meninggal dunia. Air mataku
sudah tidak dapat ku bendung saat itu aku hanya bisa menangis dan berusaha menguatkan hati ibu
agar tetap sabar dan tidak ikut sedih melihatku menangis. Dengan uang seadanya
aku dan ibu pergi ke Kalimantan untuk mengantar ayah ke tempat peristirahatan
terakhirnya. Dalam perjalanan air mataku terus menetes tak henti-henti membasahi
pipi lalu aku teringat raut wajah ayah yang selalu tersenyum, moment-moment
dimana aku masih bisa merasakan kebahagiaan bersama keluarga, aku teringat akan
janjiku dulu untuk mengumpulkan uang dan segera menjemput ayah untuk kembali ke
kota, namun sekarang harapan untuk berjumpa pun saat ayah sudah tidak bernafas
dan tidak bisa melihatku lagi, mungkin kecuali di alam mimpi dan di akhirat
kelak.
Berkali-kali hamba saksikan prosesi
pemakaman. Para pengantar menghamburkan air mata, mencabik jiwanya yang hampa
merintihkan luka hatinya. Wahai para penempuh jalan kematian! Kini rumah mereka
hanya sebuah lubang kecil yang pengap, jaraknya berdekatan tetapi jiwa-jiwanya
berjauhan, tak mampu untuk bertegur sapa apalagi saling mengunjungi. Mereka
semua bisu, masing-masing beku menunggu. Alangkah singkatnya kehidupan,
alangkah cepatnya waktu berlalu, alangkah sedikitnya bekal untuk menempuh jalan
yang panjang. Sebagai salam perpisahan ku taburkan mawar merah di tanah
pemakaman, maafkan aku ayah, aku belum bisa mengangkat derajat keluarga.
Setelah pulang kerumah ibu masih sedih
diselimuti duka, terbayang-bayang muka ayah yang hanya bisa dilihat dari figura
lama. Ibu juga sedih lantaran tidak tahu bagaimana mengabari putri sulungnya
kalau ayahnya sudah meninggal dunia dikarenakan ponsel kak Sadiya sudah lama
tidak aktif semenjak ketahuan kalau kak Sadiyah diluar kota tidak kuliah, ibu
kepikiran bagaimana kalau mencari kak Sadiya diluar kota, tetapi aku melarang
ibu karena kita tidak tahu kehidupan di luar kota seperti apa, ibu terus saja
menangis menyalahkan dirinya seandainya dulu beliau melarang ayah untuk pulang
kampung dan tidak menyetujui kak Sadiya untuk berkuliah tetapi nasi sudah
menjadi bubur, kejadian yang sudah terjadi tidak bisa diubah, dari sini aku berjanji
kepada ibu, suatu saat aku pasti akan mencari kak Sadiya dan membawanya pulang
ke rumah.
Tak kusangka banyak rintangan kehidupan
sudah kulalui, sembilan tahun telah kulalui, aku mendapat beasiswa penuh untuk
melanjutkan studi kuliah di kotaku, kini aku sudah mendapat gelar sarjana,
selain bekerja diperusahaan BUMN aku juga menjadi seorang motivator kehidupan,
aku sudah mempunyai rumah impian di kota besar dan tinggal bersama ibuku, aku
juga dipertemukan dengan kak Sadiya melalui pekerjanku, ternyata kak Sadiya
bekerja sebagai staf kebersihan diperusahaan yang sama denganku, cita-cita yang
dulu aku impikan untuk bisa bersekolah sampai lulus SMA ternyata melebihi batas
ekspetasiku.
Allah memberikan kesempatan lebih
untukku dan dari sini aku mulai mengerti maksud dari kehidupan, disaat kita
berprasangka baik maka yang akan kau tuai nanti juga akan baik, Allah mempunyai
alasan menyuruh hambanya untuk tetap bersabar. Mencoba belum tentu menjamin
keberhasilan kalau tidak mencoba sudah pasti menjamin kegagalan. Prinsip
keyakinan dapat mengalahkan segalanya adalah senjata sukses yang mampu dan
yakin akan kekuatan Allah, kemampuan diri sendiri dan kebermanfatan untuk orang
banyak.
Hidup adalah perjuangan yang harus
dimenangkan, selalu ada tantangan yang harus dihadapi. Saat kesusahan
menerpaku, saat itulah Allah mewariskan semangat, pantang menyerah, kerja
keras, dan berani menjadi yang berbeda. Mengalahkan rasa takut kunci utama.
Bukan kekurangan finansial yang menjerumuskan pada
kegagalan, justru alasan-alasan tersebut yang harus di hindarkan. Jangan pernah
takut membentuk cita-cita. Kita Bisa! Tidak ada yang tidak mungkin jika kita
memiliki tekad dan keberanian. Buatlah mimpi yang besar dan bergeraklah dari
sekarang untuk generasi muda yang lebih baik.