Liputan6.com, Jakarta - Inovasi dan kolaborasi yang didukung oleh
digitalisasi dinilai menjadi langkah bersama yang perlu diakselerasi oleh
berbagai pihak guna meningkatkan penetrasi ekonomi syariah di Indonesia,
termasuk asuransi syariah.
Pasalnya, penetrasi ekonomi syariah di Tanah Air dinilai masih minim
dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya, seperti misalnya Malaysia dan
India. Padahal, potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar yang didukung
dengan jumlah umat muslim yang mencapai 80% dari populasi.
Paul Setio Kartono, Chief Financial Officer Prudential Syariah, mengakui hal tersebut. Berdasarkan data global dari Prudential, khususnya di Asia Pasifik, Malaysia masih menjadi pemimpin pasar dalam asuransi syariah. Padahal, jelas dia, jumlah jumlah umat muslim di Malaysia hanya mencapai 70% dari total populasinya sebesar 60 juta jiwa. India, sebutnya, juga menjadi negara yang bisa menjadi pesaing dengan jumlah penduduk muslim mencapai 15% dari total populasinya sebesar 1,5 miliar jiwa.
“Sedangkan di Indonesia ada 80% dari 275 juta penduduk. Jadi, seharusnya
potensi kita sangat besar,” tegasnya, Rabu (14/6/2023) dalam Temu Silaturahmi
Prudential Syariah dengan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) yang
berlangsung di Restoran Penang Bistro, Jakarta.
Untuk itu, upaya meningkatkan penetrasi pasar asuransi syariah, jelas dia,
dapat diakselerasi melalui kolaborasi, inovasi, dan digitalisasi. Pasalnya, di
industri asuransi, khususnya syariah, prinsip law of the large number (hukum
bilangan besar) memegang peranan penting. Artinya, semakin besar jumlah
tertanggung, maka semakin signifikan dan merata penyebaran risiko sehingga
risiko yang ditanggung individu semakin kecil.
Tidak terbatas pada pengembangan asuransi syariah, Paul menilai bahwa
kolaborasi, inovasi, dan digitalisasi juga dapat dilakukan seluruh pemangku
kepentingan di industri syariah agar mampu mengembangkan ekosistem demi
kemajuan ekonomi dan keuangan syariah di Tanah Air. “Ini hanya bisa dicapai
dengan kolaborasi, inovasi dan digitalisasi melalui teknologi. Itu yang selalu
Prudential Syariah canangkan,” ungkapnya.
Paul mengatakan, pengembangan ekosistem syariah melalui kolaborasi,
inovasi, dan digitalisasi ini semakin terbuka dengan kehadiran berbagai pelaku
jasa keuangan syariah berbasis teknologi dan berbagai pemangku kepentingan
lainnya seperti akademisi, para pakar, dan komunitas.
“Ada fintech payment dan berbagai macam lagi. Kita bisa berkolaborasi dan tinggal mencari peluang kerja samanya. Jadi, kita bisa membentuk dan mengembangkan ekosistem bersama-sama.” Paul menjelaskan Prudential Syariah merupakan joint venture pertama yang berhasil spin-off sebagai entitas asuransi Syariah terpisah di Indonesia dan telah berkolaborasi dengan berbagai institusi maupun stakeholder seperti Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), Nahdlatul Ulama (NU), maupun institusi pendidikan untuk meningkatkan literasi asuransi Syariah.
Prudential Syariah pun memperluas kolaborasi dengan bergabung menjadi Ketua
Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI).
Senada dengannya, Harpedi Suseto, Head of Digital Ecosystem Prudential
Syariah, mengatakan kolaborasi dan inovasi yang didukung digitalisasi menjadi
langkah penting untuk berkontribusi dalam
meningkatkan ekonomi maupun solusi proteksi bagi masyarakat muslim di
Indonesia. Peningkatan penetrasi ekonomi syariah tak dapat dilakukan secara
parsial.
“Salah satu kendala ekonomi syariah di Indonesia adalah rendahnya literasi.
Di asuransi, literasinya rendah, inklusinya lebih rendah lagi. Padahal, potensi
muslim di Indonesia luar biasa,” jelasnya.
Saat ini, Indonesia menjadi negara dengan potensi ekonomi syariah terbesar
keempat di dunia, setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Walaupun
memiliki potensi yang besar, sayangnya masih terdapat tantangan untuk mencapai
potensi tersebut, khususnya dalam aspek literasi dan inklusi keuangan syariah,
termasuk untuk asuransi syariah.
Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan
syariah baru mencapai 9,14%, sementara indeks inklusi keuangan syariah mencapai
12,12%.
Dia juga menegaskan bahwa Prudential Syariah menerapkan konsep inklusif
yaitu "Syariah for All" dalam memperluas jangkauan pasar dan
memberikan manfaat proteksi berbasis Syariah kepada masyarakat Indonesia.
Kolaborasi dan inovasi yang didukung oleh digitalisasi menjadi penting dalam
mencapai tujuan tersebut.
“Melalui pendekatan tersebut, Prudential Syariah memperlihatkan kepada masyarakat bahwa ekonomi Syariah terus tumbuh berkelanjutan sesuai kebutuhan peserta,” ungkapnya. Sementara itu, Ronald Yusuf Wijaya, Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), mengakui bahwa Indonesia dengan populasi muslim yang besar memiliki potensi ekonomi syariah yang masif. Penetrasi atas potensi itu akan bisa diwujudkan dengan pemanfaatan teknologi dan kolaborasi.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa AFSI merupakan rumah bagi startup, institusi, akademisi, komunitas dan pakar syariah yang bergerak bersama, mendorong ekonomi syariah dengan memanfaatkan teknologi. “Total jumlah anggota AFSI saat ini adalah 85 anggota. Kami agak unik karena lebih beragam karena AFSI adalah rumah dari semua ekosistem yang berhubungan,” jelasnya.
Dengan bergabungnya Prudential Syariah, Ronald mengatakan AFSI akan mendorong kolaborasi yang lebih luas dari seluruh anggota dan juga pihak-pihak terkait yang ingin bergabung. “Sebab kami punya visi dan misi untuk mendorong ekosistem ekonomi dan keuangan syariah Indonesia menjadi nomor satu,” pungkasnya.
Sumber: Penetrasi Ekonomi Syariah Indonesia Tertinggal Jauh dari Malaysia dan India - Bisnis Liputan6.com