Halo Sefiser!! Sudah Tahu Belum? IRONI CUKAI ROKOK: Pemasukan Negara atau Bencana Kesehatan dalam Perspektif Ekonomi Islam
Di tengah upaya pemerintah memperkuat pendapatan negara, sektor cukai rokok masih menjadi andalan utama. Data Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) secara konsisten menyumbang lebih dari Rp200 triliun setiap tahunnya. Pada 2023, realisasinya bahkan mencapai sekitar Rp230 triliun. Angka fantastis yang menjadi penopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini, bagaimanapun, menyimpan sisi gelap yang jarang disorot: di balik derasnya aliran pendapatan, terdapat krisis kesehatan yang pelan namun pasti menggerogoti bangsa.
Rokok telah menjadi ironi fiskal terbesar di Indonesia. Satu sisi memberikan pemasukan besar bagi negara, namun di sisi lain menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar. Kementerian Kesehatan memperkirakan beban ekonomi akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok seperti jantung, stroke, kanker paru, diabetes, dan PPOK mencapai Rp27,7 triliun per tahun. Jumlah tersebut hanya mencakup biaya pengobatan langsung, belum termasuk kerugian produktivitas akibat menurunnya daya kerja maupun kematian dini.
Penelitian internasional yang dimuat dalam jurnal Tobacco Control menunjukkan, kerugian ekonomi akibat rokok di banyak negara bisa mencapai 1 hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika diterapkan pada konteks Indonesia, dengan PDB sekitar Rp20.000 triliun, potensi kerugian bisa menembus Rp200 hingga Rp400 triliun per tahun—dua kali lipat dari penerimaan cukai yang diperoleh negara. Ironinya, sebagian besar biaya pengobatan penyakit akibat rokok justru ditanggung oleh BPJS Kesehatan melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akibatnya, peserta BPJS yang tidak merokok ikut menanggung beban gaya hidup tidak sehat para perokok.
Dalam kacamata ekonomi Islam, persoalan ini tidak sekadar urusan fiskal. Ekonomi Islam dibangun atas prinsip kemaslahatan (maslahah) dan penolakan terhadap kerusakan (mafsadah). Kaidah fikih menegaskan, “Adh-dhararu yuzâl” kemudaratan harus dihilangkan serta “Lâ dharar wa lâ dhirâr” tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain (HR. Ibnu Majah). Rokok, dengan segala dampak negatifnya, jelas melanggar dua prinsip dasar tersebut. Ia membawa bahaya bagi perokok aktif maupun pasif, serta menciptakan beban sosial yang luas bagi masyarakat.
Lebih dalam lagi, konsumsi rokok juga bertentangan dengan prinsip Maqashid Syariah yang berfungsi menjaga lima aspek utama kehidupan manusia (al-dharuriyat al-khams): agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Rokok merusak kesehatan dan mengancam keselamatan jiwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah [2]:195: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Selain itu, iklan rokok yang masif menjadi pintu masuk generasi muda terhadap kecanduan nikotin sebuah pelanggaran terhadap prinsip sadd adz-dzari‘ah, yakni menutup jalan menuju kemudaratan. Karena itu, penguatan regulasi menjadi hal mutlak. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) harus dijalankan secara ketat di ruang publik, termasuk warung kopi dan tempat hiburan, untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok pasif. Sementara itu, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik perlu diatur secara tegas agar tidak menjadi celah baru industri untuk memperluas pasar dengan dalih “lebih aman.”
Namun, solusi jangka panjang tidak berhenti pada pengendalian konsumsi. Pembangunan ekonomi alternatif yang halal dan berkelanjutan perlu segera diwujudkan. Diversifikasi bagi petani tembakau menjadi langkah penting. Pemerintah perlu memberi dukungan dan insentif agar mereka dapat beralih ke komoditas lain yang bernilai ekonomi tinggi seperti kopi, cengkeh, vanili, atau tanaman pangan. Langkah ini selaras dengan prinsip menjaga harta (mal) melalui cara yang halal.
Selain itu, potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar untuk dikembangkan. Sektor industri halal, pariwisata ramah Muslim, fintech syariah, dan ekonomi kreatif berbasis nilai-nilai Islam dapat menjadi motor penggerak baru ekonomi nasional. Dengan pengembangan sektor-sektor ini, lapangan kerja yang tercipta akan lebih luas, sehat, dan berkelanjutan. Di sisi lain, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat menjadi pilar utama untuk membangun kesadaran kolektif mengenai bahaya rokok. Ekonomi yang kuat harus ditopang oleh sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan berintegritas.
Pada akhirnya, fenomena cukai rokok mencerminkan paradoks modern dalam kebijakan ekonomi: negara mendapatkan pemasukan triliunan rupiah, namun di saat bersamaan membayar mahal dengan hilangnya kesehatan dan produktivitas rakyatnya. Dari sudut pandang ekonomi Islam, kondisi ini merupakan peringatan moral. Ketergantungan pada industri yang merusak bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan tanggung jawab spiritual dan sosial.
Solusinya bukan sekadar menghapus cukai rokok, melainkan mengubah arah kebijakan menuju ekonomi yang berlandaskan nilai halal, keberlanjutan, dan kemaslahatan. Langkah berani ini akan menjadi wujud nyata tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam membangun bangsa yang sehat, berdaya saing, dan diridhai oleh Allah SWT.
